Hubungan
Religiusitas dengan Perilaku Sosial
A.
Pengertian
religusitas
Ada beberapa istilah
lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (latin)
dan Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata
“religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang
berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan
yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan
mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan
atau sesama manusia, serta alam sekitarnya.
Menurut, Rahman (2009)
menyatakan bahwa perilaku religiusitas adalah perilaku yang berdasarkan
keyakinan suara hati dan keterikatan kepada Tuhan, diwujudkan dalam bentuk
kuantitas dan kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan
Tuhan, hubungan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan yang
terinternalisasi dalam manusia.
Sedangkan Ismail (2009)
berpendapat bahwa religiusitas menunjuk pada tingkat ketertarikan individu
terhadap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan
ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan
hidupnya.
Selanjutnya, Adisubroto
(dalam Widiyanta, 2005) jugha menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia
yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta
nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.
Dari beberapa pendapat
di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah bentuk
internalisasi nilai agama dan keterikatan manusia terhadap Tuhan yang
mengandung norma-norma untuk mengatur perilaku manusia tersebut dalam hubungan
dengan Tuhan, manusia lain, maupun lingkungannya.
B. Aspek-aspek
Religiusitas
Kementrian
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Subandi, 1988; Widuri,
1995), membagi religiusitas agama Islam dalam lima aspek yaitu :
- Aspek Iman menyangkut keyakinan
dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan sebagainya.
- Aspek Islam menyangkut
frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya
sholat, puasa, zakat.
- Aspek Ihsan menyangkut
pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan
dan lain-lain.
- Aspek Ilmu menyangkut
pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran Islam.
- Aspek Amal menyangkut tingkah
laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, bekerja,
dan sebagainya.
C. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Religiusitas
Thouless (1992),
menjelaskan tentang faktor-faktor yang bisa menghasilkan sikap keagamaan, yaitu
:
1. Faktor sosial
Mencakup semua
pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan.
2. Faktor pengalaman
Berkaitan dengan
berbagai jenis pengalaman yang membantu sikap keagamaan.
3. Faktor kebutuhan
Kebutuhan-kebutuhan
ini secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
- Kebutuhan akan keamanan atau
keselamatan,
- Kebutuhan akan cinta
kasih,
- Kebutuhan untuk memperoleh
harga diri, dan
- Kebutuhan yang timbul karena
adanya ancaman kematian.
4. Faktor intelektual
Berkaitan dengan
berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah
keputusan untuk menerima atau menolak terhadap ajaran suatu agama. Religiusitas
adalah apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu menginternalisasi
ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor intelektual juga merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi religiusitas seseorang.
D.
Perilaku
sosial
Perilaku
sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang
lain. menurut Max Weber Perilaku mempengaruhi aksi sosial dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan
masalah-masalah. Weber menyadari permasalahan-permasalah dalam masyarakat
sebagai sebuah penafsiran. Akan halnya tingkatan bahwa suatu perilaku adalah
rasional (menurut ukuran logika atau sains atau menurut standar logika ilmiah),
maka hal ini dapat dipahami secara langusung.
Referensi lain menyebutkan bahwa perilaku sosial
merupakan fungsi dari orang dan situasinya. Dimaksudkan
disini adalah setiap manusia akan bertindak dengan cara yang berbeda dalam
situasi yang salam, setiap perilaku seseorang merefleksikan kumpulan sifat unik
yang dibawanya ke dalam suasana tertentu yaitu perilaku yang di tunjukkan
seseroang ke orang lain
E.
Peran
hubungan religius dan perilaku sosial
Manusia suka
hidup berkelompok, tidak ada seorang manusia yang seorang diri dapat memenuhi
kebutuhannya. Dalam hidup ini diperlukan kerja sama, harus ada give
and take dan
pembagian kerja. Namun demikian, ada satu perbedaan antara manusia dan hewan
yang juga suka hidup berkelompok, seperti lebah contohnya. Hewan lain secara
naluri menjalankan prinsip pembagian kerja, hewan tidak bisa untuk tidak
mengikuti hukum tersebut, tetapi sebaliknya manusia bisa memilih sesuatu
perbuatan yang akan dilakukannya. Dengan kata lain, pada hewan yang juga suka
hidup berkelompok, naluri sosial dipaksakan. Meskipun kebutuhan manusia
bersifat sosial, tetapi pada diri manusia hal tersebut bersifat tidak
dipaksakan. Naluri sosial pada diri manusia ada dalam bentuk dorongan yang dapat
dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Kehidupan
sosial dapat dikatakan baik jika individu menghormati hukum dan hak masing
masing, memperlihatkan simpati dan empati terhadap satu sama lain dalam bingkai
suci keadilan. Dalam masyarakat yang sehat, setiap orang menghendaki untuk
orang lain apa yang tidak dikehendaki untuk dirinya. Semua individu saling
percaya dan dasar kepercayaannya adalah spiritualitas. Setiap orang bertanggung
jawab terhadap masyarakatnya, dan memperlihatkan kualitas kebaikan ketika dalam
kesendirian dan di tengah masyarakat sekaligus berbuat bagi sesamanya. Oleh
karena itu, jika ada individu dan mungkin kelompok kecil orang yang dalam
kesehariannya menggunakan agama sebagai bahan untuk melakukan aksi dan seruan
seruan meresahkan masyarakat sehingga menciptakan kekacauan, maka hal tersebut
tidak rasional sekaligus tidak layak disebut sebagai bentuk kebaikan dan
religiusitas dalam hubungan sosial apapun agama atau keyakinan yang dianutnya
karena agama tidak pernah mengajarkan tentang hal tersebut.
Oleh karena
itu jika belajar dari sejarah dunia dan sejarah tokoh tokoh yang menjadi
insprirasi manusia, pada hal hal tersebut terdapat semangat kebaikan dan
keadilan, mengakui nilai nilai logika dan etika, dan menyemangati antara satu
sama lain untuk menentang kezhaliman dan tidak membiarkan terjadi kerusakan,
penindasan dan kejahatan. Dan oleh sebab itu, peran keyakinan religius dalam
hubungan sosial banyak adalah sebagai ilham para tokoh tokoh dunia karena
mendapatkannya dari pengetahuan rasional dan emosional.