Kamis, 23 Juni 2016

Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Sosial

Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Sosial

A.    Pengertian religusitas
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (latin) dan Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata “religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya.
Menurut, Rahman (2009) menyatakan bahwa perilaku religiusitas adalah perilaku yang berdasarkan keyakinan suara hati dan keterikatan kepada Tuhan, diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dalam manusia.
Sedangkan Ismail (2009) berpendapat bahwa religiusitas menunjuk pada tingkat ketertarikan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.

Selanjutnya, Adisubroto (dalam Widiyanta, 2005) jugha menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah bentuk internalisasi nilai agama dan keterikatan manusia terhadap Tuhan yang mengandung norma-norma untuk mengatur perilaku manusia tersebut dalam hubungan dengan Tuhan, manusia lain, maupun lingkungannya.
B.     Aspek-aspek Religiusitas
Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Subandi, 1988; Widuri, 1995), membagi religiusitas agama Islam dalam lima aspek yaitu :
  1. Aspek Iman menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan sebagainya.
  2. Aspek Islam menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa, zakat.
  3. Aspek Ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan dan lain-lain.
  4. Aspek Ilmu menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran Islam. 
  5. Aspek Amal menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, bekerja, dan sebagainya. 
C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Thouless (1992), menjelaskan tentang faktor-faktor yang bisa menghasilkan sikap keagamaan, yaitu :

1. Faktor sosial
Mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan.

2. Faktor pengalaman
Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membantu sikap keagamaan.

3. Faktor kebutuhan
Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : 
  1. Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, 
  2. Kebutuhan akan cinta kasih, 
  3. Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan 
  4. Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.
4. Faktor intelektual
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah keputusan untuk menerima atau menolak terhadap ajaran suatu agama. Religiusitas adalah apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor intelektual juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi religiusitas seseorang.

D.    Perilaku sosial
Perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. menurut Max Weber Perilaku mempengaruhi aksi sosial dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan masalah-masalah. Weber menyadari permasalahan-permasalah dalam masyarakat sebagai sebuah penafsiran. Akan halnya tingkatan bahwa suatu perilaku adalah rasional (menurut ukuran logika atau sains atau menurut standar logika ilmiah), maka hal ini dapat dipahami secara langusung.
Referensi lain menyebutkan bahwa perilaku sosial merupakan fungsi dari orang dan situasinya. Dimaksudkan disini adalah setiap manusia akan bertindak dengan cara yang berbeda dalam situasi yang salam, setiap perilaku seseorang merefleksikan kumpulan sifat unik yang dibawanya ke dalam suasana tertentu yaitu perilaku yang di tunjukkan seseroang ke orang lain
E.     Peran hubungan religius dan perilaku sosial
Manusia suka hidup berkelompok, tidak ada seorang manusia yang seorang diri dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam hidup ini diperlukan kerja sama, harus ada give and take dan pembagian kerja. Namun demikian, ada satu perbedaan antara manusia dan hewan yang juga suka hidup berkelompok, seperti lebah contohnya. Hewan lain secara naluri menjalankan prinsip pembagian kerja, hewan tidak bisa untuk tidak mengikuti hukum tersebut, tetapi sebaliknya manusia bisa memilih sesuatu perbuatan yang akan dilakukannya. Dengan kata lain, pada hewan yang juga suka hidup berkelompok, naluri sosial dipaksakan. Meskipun kebutuhan manusia bersifat sosial, tetapi pada diri manusia hal tersebut bersifat tidak dipaksakan. Naluri sosial pada diri manusia ada dalam bentuk dorongan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Kehidupan sosial dapat dikatakan baik jika individu menghormati hukum dan hak masing masing, memperlihatkan simpati dan empati terhadap satu sama lain dalam bingkai suci keadilan. Dalam masyarakat yang sehat, setiap orang menghendaki untuk orang lain apa yang tidak dikehendaki untuk dirinya. Semua individu saling percaya dan dasar kepercayaannya adalah spiritualitas. Setiap orang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya, dan memperlihatkan kualitas kebaikan ketika dalam kesendirian dan di tengah masyarakat sekaligus berbuat bagi sesamanya. Oleh karena itu, jika ada individu dan mungkin kelompok kecil orang yang dalam kesehariannya menggunakan agama sebagai bahan untuk melakukan aksi dan seruan seruan meresahkan masyarakat sehingga menciptakan kekacauan, maka hal tersebut tidak rasional sekaligus tidak layak disebut sebagai bentuk kebaikan dan religiusitas dalam hubungan sosial apapun agama atau keyakinan yang dianutnya karena agama tidak pernah mengajarkan tentang hal tersebut. 

Oleh karena itu jika belajar dari sejarah dunia dan sejarah tokoh tokoh yang menjadi insprirasi manusia, pada hal hal tersebut terdapat semangat kebaikan dan keadilan, mengakui nilai nilai logika dan etika, dan menyemangati antara satu sama lain untuk menentang kezhaliman dan tidak membiarkan terjadi kerusakan, penindasan dan kejahatan. Dan oleh sebab itu, peran keyakinan religius dalam hubungan sosial banyak adalah sebagai ilham para tokoh tokoh dunia karena mendapatkannya dari pengetahuan rasional dan emosional.

Jumat, 10 Juni 2016

Manusia dan Keadilan

A.    PENGERTIAN KEADILAN
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata "adil" yang berarti: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.

B.     JENIS JENIS KEADILAN
  • Keadilan Komutatif (Iustitia Commutativa): Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya, di mana yang diutamakan adalah objek tertentu yang merupakan hak dari seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan antarorang/antarindividu.
  • Keadilan legal (Iustitia Legalis): Keadilan legal adalah keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang. Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune).
  • Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa)Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang hukuman atau denda sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Setiap warga masyarakat berkewajiban untuk turut serta dalam mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat, yaitu kedamaian, dan kesejahteraan bersama.
  • Keadilan Kreatif (Iustitia Creativa)Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang bagiannya, yaitu berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreativitas yang dimilikinya.
  • Keadilan Protektif (Iustitia Protectiva): Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan kepada pribadi-pribadi. Dalam masyarakat, keamanan dan kehidupan pribadi-pribadi warga masyarakat wajib dilindungi  dari tindak sewenang-wenang pihak lain. Menurut Montesquieu, untuk mewujudkan keadilan protektif diperlukan adanya tiga hal, yaitu: tujuan sosial yang harus diwujudkan bersama, jaminan terhadap hak asasi manusia, dan konsistensi negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
C.     KEADILAN SOSIAL
Seperti pancasila yang bermaksud keadilan sosial adalah langkah yang menetukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Setiap manusia berhak untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya sesuai dengan kebijakannya masing-masing.
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1. Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3. Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan
4. Sikap suka bekerja keras.
5. Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.